WAHLI Kalsel: Karut Marut Tata Kelola Hutan Mangrove, Siap - Siap Langganan Banjir Rob

Reported By Pimred Borneo Pos 18 Des 2025, 13:53:22 WIB KALSEL
WAHLI Kalsel: Karut Marut Tata Kelola Hutan Mangrove, Siap - Siap Langganan Banjir Rob

Keterangan Gambar : Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq Septian Fadel




Banjarbaru, Borneopos.com (17/12/25) – Fenomena banjir rob yang kian sering merendam wilayah pesisir Kalimantan Selatan bukan lagi sekadar siklus pasang surut air laut biasa namun bisa jadi langganan (rutinitas), hal ini disebut beberapa pihak sebagai dampak dari deforestasi mangrove.


Baca Lainnya :

Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, menegaskan bahwa bencana ini adalah kulminasi dari kerusakan ekosistem yang masif, mulai dari hilangnya hutan mangrove hingga karut-marutnya tata kelola air di wilayah penyangga.


Mangrove Hilang, Rob Tak Terbendung


Rafiq menyoroti hilangnya benteng alami pesisir secara drastis. Berdasarkan fakta sejarah, pesisir Kalsel dulunya adalah rumah bagi hutan mangrove yang lebat. Namun kini, kawasan tersebut telah berubah wajah menjadi pelabuhan batu bara, dermaga khusus (tersus) dan kawasan industri.


"Bagaimana rob tidak semakin parah? Hutan mangrove yang seharusnya menjadi pemecah gelombang dan penyaring air laut sudah habis dikavling untuk izin pertambangan dan pelabuhan. Saat air laut pasang, tidak ada lagi penghalang alami, sehingga air langsung menghantam pemukiman warga," ujar Rafiq kepada Borneopos.com,  Rabu (17/12/2025).


Bahkan, ia menyentil pernyataan dari instansi terkait yang seolah mengamini hilangnya vegetasi ini. 


"Sangat ironis jika sekarang disebut tidak ada pohon mangrove di Kalsel. Itu membuktikan bahwa ekosistem kita telah 'dihilangkan' demi kepentingan investasi batu bara," tuturnya.


Efek Domino dari Jejangkit ke Hilir


Kaitan banjir rob dengan kondisi di hulu seperti Jejangkit sangatlah erat. Rekayasa saluran kanal dan praktik kompanisasi oleh perusahaan sawit di Jejangkit menyebabkan volume air yang seharusnya meresap ke tanah justru dibuang secara paksa ke Sungai Alalak.


"Ketika air dari hulu (Jejangkit) dipompa besar-besaran ke sungai karena kanal ditutup perusahaan, dan pada saat yang sama di hilir terjadi banjir rob (pasang laut), maka terjadi akumulasi air yang luar biasa. Air sungai tidak bisa mengalir ke laut, sementara laut merangsek masuk. Akibatnya, pemukiman terendam hingga 6 bulan," jelasnya.


Menanggapi ketidakadilan ini, terutama melihat kasus di Jejangkit di mana Kecamatan Jejangkit, yang pada 2018 menjadi pusat perhatian dunia sebagai lokasi Hari Pangan Sedunia (HPS), kini justru menjadi wilayah langganan banjir tahunan. 


Berdasarkan investigasi, sejak 2021 banjir di Jejangkit bisa merendam pemukiman dan lahan pertanian selama 4 hingga 6 bulan. WALHI Kalsel mendesak tindakan radikal dari pemerintah.


Rafiq menekankan bahwa penegakan hukum saat ini masih tebang pilih, seperti kasus pembakaran lahan tahun 2023 di mana hanya 1 dari 7 perusahaan sawit yang ditindak.


"Harapan kami, pemerintah berhenti memberikan 'program palsu' dan mulai berani mencabut izin yang merusak. Jika aparat penegak hukum (APH) sudah kewalahan, saatnya kita membentuk Pengadilan Khusus Lingkungan. Kita butuh hakim yang fokus dan paham bahwa kerusakan alam di Jejangkit dan hilangnya mangrove di pesisir adalah kejahatan serius yang memiskinkan rakyat," tegas Raden Rafiq. (red/nita)







Baca Lainnya :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment