Krisis Deforestasi, WALHI Kalsel: Solusi Palsu Pemerintah dan Ketimpangan Hukum

Reported By Pimred Borneo Pos 17 Des 2025, 20:13:20 WIB KALSEL
Krisis Deforestasi, WALHI Kalsel: Solusi Palsu Pemerintah dan Ketimpangan Hukum

Keterangan Gambar : Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq Septian Fadel Wibisono dengan latar lubang ex. tambang.




Banjarbaru, Borneopos.com  – (17/12/25) Kalimantan Selatan kini berada dalam titik nadir krisis lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan mengungkap bahwa kehancuran hutan yang mencapai 51% dari total luas lahan 3,7 juta hektar bukan sekadar angka statistik, melainkan ancaman nyata bagi keselamatan jiwa masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi pertambangan.


Baca Lainnya :

Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq Septian Fadel Wibisono, menegaskan bahwa sepanjang periode 2023-2024, deforestasi seluas 146.956,8 hektar telah memicu dampak lingkungan jangka panjang yang tak terelakkan.


Investigasi WALHI menemukan banyak perusahaan tambang yang mengabaikan aturan teknis, terutama terkait jarak minimal aktivitas pertambangan dengan pemukiman warga.


"Banyak tambang yang beroperasi terlalu dekat dengan rumah penduduk. Dampaknya sangat mengerikan; mulai dari kebisingan, polusi debu yang mengganggu kesehatan, hingga ancaman tanah longsor yang sewaktu-waktu bisa menimbun pemukiman warga. Pemerintah seolah-olah buta terhadap fakta lapangan ini saat memberikan izin," ujar Raden.


Dampak yang dirasakan masyarakat ini bersifat permanen dan berjangka panjang. Kerusakan struktur tanah akibat lubang tambang yang terlalu dekat membuat warga kehilangan rasa aman di rumah mereka sendiri.


Pemerintah dituding memberikan "karpet merah" kepada korporasi tanpa melakukan verifikasi lapangan yang jujur. Akibatnya, izin seringkali tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat.


Masyarakat adat pegunungan Meratus menjadi pihak yang paling menderita. Di persidangan, mereka selalu kalah karena hukum menuntut bukti administratif (sertifikat), sementara mereka hanya memiliki sejarah lisan (penuturan turun-temurun) dan bukti alam. Meski Perda No. 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat telah disahkan, implementasinya masih tersandera birokrasi yang sulit.


Raden juga mengkritik program transisi energi pemerintah yang dianggap "solusi palsu". Program Biomassa & Wood Pellet, Praktik co-firing (pencampuran batubara dengan kayu) di PLTU dinilai tetap memperparah deforestasi karena membutuhkan pasokan kayu dalam skala besar.


Program Biodiesel

Transisi menuju energi baru melalui biodiesel berbasis sawit dianggap merugikan ekosistem dan mengganggu habitat hewan.


Padahal, riset WALHI menunjukkan bahwa energi alam di Kalsel sangat mencukupi untuk warga tanpa perlu mengandalkan proyek yang merusak ekosistem.


Hukum di Kalimantan Selatan dinilai tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Terdapat sekitar 230 tambang tanpa izin yang bebas beroperasi, namun penindakan hanya menyasar pekerja kecil.


Aktor Utama & Backing Pemilik modal dan pihak di belakang layar hampir tidak pernah tersentuh hukum. Saat masyarakat melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH) tidak direspon, namun ketika mereka berteriak di media sosial, mereka justru dijerat dengan UU ITE.


Direktur WALHI Kalsel, Raden menuntut agar pemerintah berhenti menjadi "pelayan korporasi" dan mulai memihak kepada rakyat kecil yang menjadi korban nyata dari kerusakan alam ini.


"Pemerintah adalah pemegang kewenangan izin, maka mereka yang paling bertanggung jawab. Jangan hanya melihat keuntungan ekonomi jangka pendek, tapi lihatlah penderitaan panjang masyarakat yang harus menghadapi bencana akibat tambang yang serampangan," tegasnya.


Pemerintah harus berani mencabut izin perusahaan yang melanggar batas jarak pemukiman dan mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat. (nita)


Baca Lainnya :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment