Refleksi Akhir 2025 WALHI Kalsel: Laju Deforestasi Menghawatirkan, Segera Moratorium Izin!

Reported By Pimred Borneo Pos 31 Des 2025, 06:36:48 WIB KALSEL
Refleksi Akhir 2025 WALHI Kalsel: Laju Deforestasi Menghawatirkan, Segera Moratorium Izin!

Keterangan Gambar : Mobil ambulan saat berjuang di tengah banjir di Kabupaten Balangan.




Banjarbaru, Borneopos.com - perjalanan advokasi dan kampanye lingkungan hidup di Kalimantan Selatan, Walhi juga tak lepas mengamati sikap pejabat publik seperti Hanif Faisol Nurofiq dalam karirnya. Walhi Kalsel menduga bahwa jabatan Menteri Lingkungan Hidup yang diperoleh Hanif Faisol Nurofiq sekarang sangat problematik dan kontroversial. 


Baca Lainnya :

Selain itu, beliau juga diduga kental dengan relasi kuasa dan politik balas budi, apalagi saat beliau mulai mendapat jabatan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL)pada 2023 lalu.


Awal karirnya yang bermula dari Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu juga dapat memantik pertanyaan kritis kita kenapa bisa begitu cepat melesat karir beliau beberapa tahun terakhir, terutama saat rezim Jokowi hingga sekarang Prabowo.


Sedangkan jika dilihat dari kondisi tutupan hutan dan pemulihan lingkungan, Kalsel tidak mengalami perbaikan lingkungan secara signifikan. Malah sebaliknya, tukar menukar Kawasan Hutan terjadi yang kebetulan seiring dengan meningkatnya karir beliau. Seiring itu juga proyek seremonial seperti Geopark Meratus sering kali digaungkan bersama asosiasi pertambangan Batubara.


Walhi Kalsel pada tahun 2019 menemukan bahwa Pemerintah Provinsi Kalsel diduga telah merekomendasikan pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar kawasan seluas 17.113,53 hektar untuk kepentingan korporasi perkebunan sawit skala besar di dua Kabupaten di Kalsel atas nama diversifikasi tanaman pangan.


Koalisi Masyarakat Sipil #SaveMeratus juga pernah memberikan pernyataan penolakan pada pemberian jabatan beliau sebagai Menteri. Selama Hanif berkarir di Kalsel, Masyarakat sipil yang mendorong pengakuan Masyarakat Adat diduga justru selalu dimentahkan olehnya dengan kerap seolah mendiskreditkan eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Kalsel yang gagal mengakses program Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Adat. Publik seolah digiring untuk tidak percaya bahwa ada masyarakat hukum adat dan hutan adat di Kalsel


Selain itu catatan Koalisi pada oktober 2024 lalu di Kalsel terdapat lebih dari 116 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di dalam kawasan hutan tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Jika bicara kinerja, tumpang tindih perizinan seperti ini menjadi rekam jejak yang buruk bagi pejabat publik yang harusnya mengawasi dan mengevaluasi hal tersebut.


Ditambah lagi saat ini Kalsel juga mendapat jatah proyek bio energi atau Hutan Tanaman Energi (HTE) yang diberikan pada 3 korporasi besar. Sebuah Solusi palsu transisi energi. Proyek yang belum jelas alur produksi dan distribusinya ini menjadi sorotan karena menggunakan kayu sebagai bahan baku utama yang diduga berpotensi meningkatkan pengurangan tutupan hutan di Kalsel.


Direktur WALHI Kalsel, Raden Rafiq mengaakan, dalam konteks banjir ini, bahwa sebagai warga kita patut mengapresiasi tugas perjalanan atau kunjungan beliau ini, walaupun kita tahu itu membebani anggaran negara, saat terjadi bencana ekologis. Yang mana memang sudah tugasnya.


"Selain menyebutkan hingga 20 entitas usaha pertambangan, perkebunan dan kehutanan di wilayah hulu Kalsel, harusnya beliau (Menteri LH) menunjukan keseriusan Kementerian melakukan pemulihan lingkungan seiring berjalannya upaya penegakan hukum pada perusak lingkungan," ucapnya, Rabu (31/12/2025) kepada Borneopos.com. 


Moratorium izin atau penghentian persetujuan lingkungan harus tegas dilakukan Kementerian Lingkungan karena adanya kegentingan daya dukung dan daya tampung lingkungan di Kalsel saat ini.


Walhi Kalsel dalam catatan akhir tahun 2025 ini mengingatkan kembali bahwa bab baru pengulangan deforestasi dan alih fungsi hutan dimulai kembali oleh rezim ini. 


Deforestasi itu dilegitimasi melalui proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi yang disampaikan Kementerian Kehutanan akhir Desember 2024 lalu. Kebijakan ini sangat kontroversial dan kontra produktif dengan upaya Indonesia dalam pengurangan emisi atau dalam rangka mencegah perubahan iklim.


Proyek deforestasi ini menyasar di antaranya kawasan hutan lindung dan hutan produksi seluas 15,53 juta hektar, lalu 3,17 juta hektar menyasar kawasan hutan yang dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), dan 1,9 juta hektar menyasar pada wilayah Perhutanan Sosial (PS).


Catatan terakhir WALHI Kalsel sisa tutupan hutan primer di Kalsel hanya seluas 49.958 hektar dari total luas wilayah 3,7 juta hektar. Data ini jauh lebih kecil dari beban perizinan industri ekstraktif diantaranya PBPH seluas 722.895 hektar, Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) seluas 559.080 hektar dan Hak Guna Usaha (HGU) yang didominasi sawit seluas 645.612 hektar.


Dalam satu dekade terakhir beban perizinan ini tidak kunjung dievaluasi apalagi berkurang bahkan menuju kehancuran daya dukung dan daya tampung lingkungan. Karena jika ditotal luas beban izin tersebut separuh Kalsel yaitu 51,57 persen. 


Dengan kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) harusnya lebih progresif terhadap upaya-upaya yang nyata dalam membenahi dan memulihkan lingkungan hidup di Kalsel. Bukan malah menimbulkan asumsi liar publik dengan mengangkat saudara kandung sebagai staf ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat dan Daerah di Kementerian Lingkungan. Itu yang Hanif lakukan saat angkat adiknya Hanifah Dwi Nirwana menjadi staf ahli di KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH).


Selain itu jangan hanya Desa Bincau saja yang ditinjau. Wilayah yang dekat industri ekstraktif pertambangan, sektor hutan dan Perkebunan sawit serta wilayah rentan terhadap bencana ekologis harus menjadi perhatian dan prioritas untuk dilakukan pemulihan lingkungan.(Walhi Kalsel)




Baca Lainnya :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment