Breaking News
- Pemkab Kotabaru Matangkan Persiapan Penjemputan Jemaah Haji 2025
- Pelindo Kotabaru dan PT AKR Tanam 1.000 Mangrove Dalam Rangka Hari Lingkungan Hidup 2025
- Tenaga Ahli Bupati Audiensi ke Seluruh SKPD Samakan Visi Misi Menuju Kotabaru Hebat
- Pemkab Kotabaru Kukuhkan Pengurus Organisasi Wanita Masa Bakti 2025-2029
- Pemkab Kotabaru Sosialisasikan Perda Kawasan Tanpa Rokok
- Wabup Kotabaru Paparkan KUPA PPAS Anggaran 2025 di Rapat Paripurna DPRD
- Kampung Nelayan, Destinasi Wisata Favorit Warga Saijaan di Akhir Pekan dan Musim Liburan
- Satresnarkoba Polres Kotabaru Musnahkan Barang Bukti Narkotika
- Humas Polresta Samarinda Hadiri Rakernis di Polda Kaltim Guna Dukung Asta Cita Presiden RI
- Kurir Ekstasi Diciduk di Parkiran KTV Samarinda, Polisi Sita 30 Butir Ekstasi dan Serbuk Narkoba
Banjir Pulau Laut, Bencana atau Keniscayaan (syukuri aja)

Keterangan Gambar : MN. Asikin (atas) Ketua LKBH Saijaan Kotabaru, Banjir di pemukiman warga (bawah)
#OPINI#
Menanggapi pemberitaan di beberapa media, mengenai banjir yang terjadi di Pulau Laut Utara Kotabaru, dan serunya diskusi di media social mengenai hal tersebut. Hal mana hampir semua kawan menyatakan BANJIR ADALAH BENCANA.
Pertanyaan besarnya kemudian adalah, apakah memang benar bencana atau justru banjir Pulau Laut adalah hal biasa atau keniscayaan yang akan datang setiap tahun apabila musin penghujan.
Paling tidak dalam 50 Tahun terakhir dalam setiap tahun hampir dipastikan kawasan-kawasan rendah di Pulau Laut Utara akan manjadi genangan air yang melimpah kalo tidak mau dibilang banjir.

Banyak faktor pastiya menjadikan banjir seakan-akan adalah tamu yang datang setiap musin penghujan untuk kawasan Baharu Utara, Kotabaru Tengah, Semayap, Sungai Taib dan Sungai Paring.
Memang harus diakui volume air dalam 10 tahun terakhir paling tidak itu semakin melimpah, yang sebelumnya hanya sebatas lutut saat ini sudah naik sampai sepinggang.
Banjir seakan menjadi hal biasa dan bukan sesuatu yang luar biasa bagi masyarakat Pulau Laut Utara dan juga menjadi hal yang biasa bagi pemerintah daerah.
Kalo mau dibilang bencana, apa iya bencana terjadi setiap tahun dan sudah hampir pasti terjadi. Lalu apa ada alasan kita semua untuk berduka dengan hal itu, bukannya banjir kita selalu tunggu kedatangnya setiap musim penghujan dan mugkin banjir ada nikmatnya bagi sebagian orang.
Kerusakan daerah hulu akibat pengrusakan kawasan resapan air, menyempitnya daerah aliran sungai, menumpuknya sampah rumah tangga, pendangkalan sungai, bangunan rumah disemua daerah aliran sungai dan mungkin banyak lagi alasan kenapa banjir seakan menjadi tamu ïstimewa” setiap tahun bagi warga Saijaan.
Argumen orang-orang hebat sebagaima disebutkan itu semua benar dan tidak terbantahkan, namun asiknya kita semua terus melakukan itu.
Khusus untuk kebijakan, nah ini lebih asik lagi, banjir sudah berulang-ulang setengah abad lebih tapi tidak ada satupun kebijakan daerah yang khusus mengenai antisipasi dan penangan banjir secara holistik dan atau terintergasi.

Kalo ada mungkin hanya soal perda sungai, perda sampah, perda ijin bangunan, namun perencaaan besar mengenai antisipasi banjir tidak pernah ada, bahkan mungkin tidak pernah menjadi bahan diskusi di meja para ambtenaar.
Mungkin tidak salah apa yang dilakukan para aparatur pemerintah daerah, tapi sangat disanyangkan, hal krusial seperti banjir tidak pernah menjadi bahan obrolan serius.
Banyak daerah yang bisa dijadikan referensi dalam melakukan antisipasi banjir, namun sayangnya kunjungan kerja para legislator kita yang terhormat atau Dewan Perwakilan Rakyat kita yang mulia yang hampir setiap minggu lalu lalang keluar kota tidak menjadikan itu menjadi prioritas pemikiran.
Lagi-lagi para anggota legislator kita yang jumlahnya 35 orang tidak terpengaruh dengan banjir melanda.
Mudah-mudahan beliau-beliau selalu dalam kebaikan.
Kemarahan warga wajar, tapi terkadang tidak melihat apa yang warga sudah lakukan untuk mengurangi persoalan banjir.

Lalu siapa yang harus menjadi sasaran kemarahan?
Pemda saat ini kah, investasikan, manusia saat inikah atau tidak ada yang mau bertangungjawa untuk semua itu?
Sepertinya tidak adil kalau kita hanya bisa menyalahkan, akan lebih bijak kita cari ÄKAL bagaimana bisa mengurangi dampak.
Paling nyata adalah dampak kesehatan dengan meyiapkan sarana dan prasarana terbaik dan dampak kerusakan infrastruktur kota dengan bangunan-banguan yang tahan terhadap banjir.
Kalaupun kita tidak perduli dengan kondisi yang ada, minimal kita bisa menikmati dan jangan asal menyalahkan, ujar urang bahari “kalo pina kena dahi sorang.”

Banyak analisa orang-orang cerdik pandai yang melakukan kajian dan analisis mengenai banjir, banyak protes yang disampaikan ke pembuat kebijakan, banyak sumpah serapah dilayangkan, tapi tetap aja tamu tahunan (banjir) datang.
Setuju tidak setuju, itulah keadaannya dan sepertinya kita harus melihat ini dengan lapang dada.
Ternyata tidak cukup dengan marah-marah atau sumpah serapah, ternyata tidak cukup dengan bergantung kepada administrasi wilayah (pembakal, camat, bupati) untuk menangani banjir.
Jangakan mengurangi, yang ada justru banjir semakin besar dan mungkin akan semakin besar pada tahun mendatang.
Melihat persoalan banjir saat ini, paling tidak kita tenang “bawa betenang dulu” kita pikirkan baik-baik dengan kepala dingin dan akal sehat, buat kemauan bersama untuk mengurangi banjir pada tahun mendatang, mudahan-mudahan tidak ada lagi.
Artinya, usaha menyalahkan baiknya kita hentikan dan yang ada adalah kita coba dengan kemauan bersama.

Ada baiknya pemerintah daerah mulai membuat perencanaan yang baik dalam 10-20 tahun kedepan untuk menjawab persoalan banjir ini.
Perencanaan tahunan hanya pelaksana dan tekhnis, tapi secara umum pemda mempunyai grand design mengenai tata kota anti banjir.
Bagaimana membuatnya, buat tim yang terdiri dari orang-orang cerdas, baik yang berasal dari pemda maupun dari masyarakat untuk membuat perencanaan ini.
Jangan ragu untuk membuat perencanaan dari hulu sampai hilir dan anggarkan dalam APBD untuk menjalankan program ini.
Untuk kebijakan-kebijakan praktis, minimal ada langkah kongkrit dari pemerintah daerah dan juga pemerintah desa untuk menghentikan pemberian ijin pembangunan disepanjang daerah aliran sungai, minimal untuk menghindari penyempitan badan sungai.
Pengerukan sungai merupakan langkah kongkrit yang harusnya dilanjutkan oleh pemerintah daerah untuk semua sungai-sungai yang ada.

Namun semua ini memerlukan pemerintah daerah yang berani dan konsisten atau tidak pandang bulu dalam menegakan aturan.
Jangan menunggu banjir untuk melakukan langkah-langkah praktis, sudah saat meninggalkan ungkapan “bekerja saat banjir”, kerjakan saat ini dan dilakukan terus-terusan.
Masyarakat pulau laut adalah masayarakat yang patuh dan taat kepada pemerintah, kalau pemerintah daerah memberikan cotoh yang baik pasti masyarakat akan melakukan yang baik, dan sebaliknya sebaik apapun perencanaan / kemauan pemerintah daerah, kalau prilaku aparatur pemerintah daerah tidak baik pasti warga juga akan apatis dengan perencanaan pemerrintah daerah.
Dimana-mana pemerintah yang baik dan dihormati warganya, akan membawa kemajuan daerah itu.
Demikian sebaliknya pemerintah yang tidak baik akan membawa dampak buruk bagi kehidupan daerah, dengan kata lain kalo pemerintah daerah baik, maka kehidupan daerah akan baik, dan kehidupan daerah buruk pasti pemerintahnya sangat buruk.
Banjir fenomena yng berulang tahun, jangan salahkan hujan, jangan salahkan air, yuk salahkan kita penghuni pulau ini.
Salam dari Gunung Ulin,
MN. Asikin
Ketua LKBH Saijaan - Kotabaru

Baca Lainnya :

Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments