- Kapolda Kalsel Cek Kesiapan Pengajian Malam 5 Rajab 1447 H
- Gubernur Kalsel Buka Rakerprov KONI Tahun 2025
- HAKORDIA 2025: Pemkab Kotabaru Gelar Sosialisasi dan Diskusi Panel SPI 2025
- Skandal Pemerasan Kejari HSU, LSM GMPD Banjarbaru: Banyak Yang Bisa jadi Target KPK di Kalsel
- Disparpora Kotabaru Sukses Gelar Bupati Cup Kotabaru Hebat 2025
- Wabup Kotabaru Apresiasi Festival Budaya 2025 di Obyek Wisata Kampung Nelayan
- HUT Polhut ke-59, Dishut Kelsel Tekankan Pelestarian Ekosistem Hutan Banua
- Catatan Kritis Akhir Tahun WALHI Kalsel: Rapor Merah Pemprov Atasi Krisis Lingkungan!
- Pelabuhan Stagen Dipadati Penumpang, Pelindo Kotabaru Siagakan Fasilitas dan Personel
- Pemkab Kotabaru dan Kemenag Berikan Penghargaan Peserta MTQ Berprestasi
Opini | Tantangan Advokasi Era Post Trust

Keterangan Gambar : Noorhalis Majid
Oleh: Noorhalis Majid
Tidak mudah melakukan advokasi atau memengaruhi keputusan atau kebijakan di era sekarang, di mana kebohongan, kepalsuan, manipulasi, dapat menyamar sebagai kebenaran.
Baca Lainnya :
Advokasi itu sendiri berarti menyuarakan pendapat, membela kepentingan, atau berjuang dan memperjuangkan hak untuk menciptakan perubahan yang lebih adil di tengah warga.
Penyamaran kebohongan tersebut di era sekarang, dimobilisasi melalui penggalangan opini melibatkan buzzer, yaitu individu atau kelompok orang yang mau dibayar untuk menyebarkan informasi atau opini tertentu, sering kali menggunakan tokoh publik guna memengaruhi pendapat. Dibayar dimaksud tentu saja tidak selalu dengan uang. Pembayaran bisa berupa akses, relasi kuasa atau status sosial.
Begitu lihainya kepalsuan menyamar sebagai kebenaran, pada saat mendapat perlawanan, seketika merubah dan memposisikan diri sebagai korban, hal demikian di era sekarang dinamakan playing victim, yaitu prilaku yang sengaja memposisikan diri sebagai korban, padahal bukan korban sebenarnya. Sekali pun sudah mengkriminalisasi dan melakukan penganiayaan fisik dan mental, pada saat kalah karena dilawan oleh arus yang lebih besar, seketika memposisikan diri sebagai korban yang layak dikasihani.
Manipula kebenaran tersebut bahkan membawa-bawa demokrasi sebagai satu kebebasan berpendapat. Padahal demokrasi itu tidak sekedar mengusung kebebasan, tapi di dalam kebebasan tersebut harus ada kejujuran dan keadilan.
Demokrasi tanpa kejujuran dan keadilan, hanya berujung manipulasi. Mungkin dinamakan demokrasi, padahal isinya otoritarian, yaitu pemaksaan kehendak kekuasaan.
Dalam satu barisan advokasi, bila ada perbedaan visi, misi, tujuan dan cara, maka hal tersebut bukanlah demokrasi, melainkan penghianatan. Tentu tidak ada tempat bagi penghianat dalam barisan advokasi, sebab dapat menggagalkan cara, tujuan, bahkan merusak misi dan visi.
Bila penghianatan diberi merek demokrasi, pada saat itu demokrasi pun sudah digerogoti post truth.
Tidak mudah melakukan advokasi era post truth, sebab kepalsuan yang diulang-ulang melalui mobilisasi buzzer, perlahan mencuci otak, menyamar menjadi kebenaran. (nm)
Baca Lainnya :


1.jpg)
.jpg)
.jpg)


.jpg)
.jpg)
.jpg)




